Subscribe:

Ads 468x60px

Thursday, March 31, 2011

GUNUNG–GUNUNG BERAPI DINGIN DI TITAN

Berkelanalah ke planet Saturnus dan lanjutkan perjalanan menuju satelitnya yang paling populer, Titan. Inilah satelit Saturnus terbesar di antara lebih dari 60 lainnya, namun juga paling misterius. Jika pesawat anda memilih bandara di Titan sebagai tujuan akhir penerbangan, hingga jarak beberapa ribu kilometer dari Titan anda takkan dapat menyaksikan keelokan permukaannya.
Jejak aliran lava dingin yang teramati Cassini dalam kombinasi citra radar dan VIMS. Lava dingin mengalir sejauh 80 km lebih dari kawah gunung berapi dingin yang memuntahkannya (kiri bawah). Kredit : LeCorre dkk
Semua terbungkus selimut karbondioksida tebal yang pekat dengan warna kuning kecoklatan, seakan melindungi permukaannya terhadap segala gangguan visual dari luar, termasuk sorot mata manusia. Maka berterima kasihlah kepada misi antariksa Cassini–Huygens, proyek kolaborasi NASA dengan partnernya di Eropa yakni ESA dan ASI (Italia), yang diluncurkan tahun 1997 dan tiba di Saturnus pada tahun 2004. Sebab lewat misi antariksa tak berawak termahal sepanjang tiga dekade terakhir inilah Saturnus dan juga Titan perlahan–lahan mulai menyibakkan diri.
Sejak kedatangannya, Cassini sudah menjalani lebih dari 60 kali penerbangan lintas (flyby) di Titan dan sukses mendaratkan kapsul Huygens ke permukaan satelit yang dalam perspektif keplanetan ukuannya 1,5 kali lebih besar dari Bulan dan hanya bisa dikalahkan Ganymede di Jupiter. Berbeda dengan tebakan semula, permukaan Titan ternyata padat, penuh batuan berserakan dan perbukitan. Namun berbeda dengan Bumi, batuan Titan adalah bekuan senyawa–senyawa ringan yang didominasi metana dalam lingkungan bersuhu –182° C. Huygens memperlihatkan “kering”nya cuaca Titan sepanjang ratus tahun terakhir dengan udara berasap hidrokarbon pengap mirip udara Jakarta yang polutif. Namun suatu saat di masa silam, dalam rentang waktu sangat singkat, cuaca berubah dramatis dengan turunnya hujan badai metana teramat deras secara global. Hujan metana ini mengukir topografi Titan, sehingga alur–alur lembah, sungai dan danau terisi kembali oleh metana cair.
Apa yang menggerakkan metana sehingga bersirkulasi di Titan sebagai padatan (di batuan), cairan (di sungai/lembah) dan gas (di atmosfer) mengundang pertanyaan para astronom khususnya dalam lima tahun terakhir. Massa metana di Titan diindikasikan 2 x 1017 kg, namun perlu dicatat bahwa metana di atmosfer atas Titan selalu terpecah–belah oleh sinar Matahari, sehingga dibutuhkan pasokan metana kontinu untuk menjaga stabilitas atmosfer sekaligus menggerakkan cuaca. Spekulasi vulkanisme dingin (cryovolcanism) sebagai tenaga penggeraknya pun merebak. Karena dengan jauhnya lingkungan Saturnus terhadap Matahari dan komposisi dominan penyusunnya, hanya vulkanisme jenis ini dengan dengan aliran magma model titik–panas (hotspot) yang mungkin eksis, bukan model lempeng tektonik. Apalagi instrumen radar dan VIMS (Visual Infrared Mapping Spectrometer) Cassini berulang kali menangkap bentuk–bentuk unik mirip kerucut, kawah maupun aliran yang sangat kaya metana di permukaan Titan.
Tortola Facula, salah satu kandidat kerucut produk vulkanisme dingin di Titan. Kredit : LeCorre dkk
Tortola Facula adalah kerucut yang dilihat Cassini saat flyby pertama pada Oktober 2004. Kerucut tersebut diduga merupakan gunung bergaris tengah 30 km dengan bentuk terelongasi ke barat. LeCorre dkk (2008) memperhitungkan, jika aktif, aktivitas gunung ini mampu memasok 1013 kg metana dengan asumsi dapur magma pemasok metana beku yang menyublim menjadi gas di gunung ini tebalnya 5 km. Jumlah ini terlalu kecil dibandingkan massa metana di atmosfer Titan dan dibutuhkan sedikitnya 20.000 gunung berapi dingin sejenis Tortola Facula agar bisa mempertahankan stabilitas atmosfer Titan. Meski Cassini baru sanggup memetakan sebagian kecil permukaan Titan, namun 20.000 gunung mirip Tortola Facula cukup banyak jumlahnya sehingga seharusnya bentuk kerucut sejenis sering dijumpai Cassini. Sementara realitasnya tidak demikian.
Kawasan thui region, diabadikan dari jarak 75.000 km. Gumpalan putih cerah di bagian bawah adalah jejak vulkanisme dingin kawasan ini, yang kemungkinan berbentuk erupsi retakan. Kredit : LeCorre dkk
Thui region dan Hotei region adalah dua kawasan Titan lainnya yang diindikasikan mengalami aktivitas vulkanisme dingin. Berbeda dengan Tortola Facula, Thui dan Hotei melingkupi area yang cukup luas sehingga vulkanisme di sini mungkin berupa erupsi retakan seperti bisa kita dijumpai di Islandia maupun Hijaz di Bumi. Dengan asumsi dapur magmanya menyerupai Tortola Facula, LeCorre dkk memperhitungkan Thui region mampu memasok 4.1017 kg metana atau setara dengan massa metana di atmosfer Titan. Demikian pula Hotei region.
Sotra Facula adalah kandidat gunung berapi dingin lainnya di Titan, yang diungkap Randolph Kirk dkk dari United States Geological Survey (USGS) Astrogeology Science Center. Mereka mereproduksi citra radar untuk menghasilkan bentuk tiga dimensi Sotra Facula, yang memperlihatkan dua kerucut setinggi lebih dari 1.000 meter dari dasar dengan kawah dalam ditengahnya dan jejak aliran yang memencar menjari mirip kipas aluvial di Bumi. Meski spektakuler, Sotra Facula diduga memasok metana dalam kuantitas yang tak jauh berbeda dengan Tortola Facula.
Topografi Sotra Facula sekaligus bisa menjelaskan bagaimana kubah Tortola Facula bisa eksis di Titan. Vulkanisme dingin pada umumnya mengekstrusikan magma dingin berupa uap air dan gas–gas volatil yang sulit untuk mengendap begitu erupsi terjadi, seperti di Enceladus dan Triton. Sehingga vulkanisme dingin tidak diikuti pembentukan kerucut gunung. Namun di Titan situasinya sedikit berbeda. Meski juga ditenagai gas–gas volatil (khususnya metana), vulkanisme dingin Titan mungkin melibatkan material yang lebih padat dan berat. Sehingga ketika erupsi terjadi, material lebih padat ini tak terbawa jauh dan hanya menumpuk di sekitar kawah sehingga tebentuk kubah lava yang lama–kelamaan tumbuh tinggi dan membesar.
Citra tiga dimensi Sotra Facula yang direproduksi USGS Astrogeology Science Center untuk NASA. Nampak cekungan dalam yang adalah kawah, dengan sisi kanannya adalah dua puncak setinggi lebih dari 1.000 m. dari kawah ini ke latar depan nampak jejak – jejak aliran lava dingin (metana, gas volatil dan senyawa – senyawa yang lebih padat). Kredit : NASA
Kirk dkk menuturkan, sejauh ini tidak ada tanda–tanda apakah Sotra Facula masih aktif di masa resen, namun mereka akan terus memantaunya guna memastikannya. Eksistensi gunung–gunung berapi dingin di Titan mendatangkan pertanyaan tentang asal–usul sumber panas yang menggerakkan vulkanisme dingin ini. Jika Enceladus dipanasi oleh pemanasan pasang–surut gravitasi akibat resonansi orbitnya dengan Dione dan Triton dihangatkan sinar Matahari khususnya di sekitar titik subsolar, belum jelas darimana Titan mendapatkan panasnya. Dengan dimensinya yang besar, bahkan sedikit lebih besar dari Merkurius, Titan mungkin memiliki sumber panas internal dari peluruhan unsur–unsur radioaktif berat dalam lapisan inti Titan.
»»  Baca Selengkapnya

SISTEM KEPLANETAN KEPLER-11 YANG MENAKJUBKAN

Tahun 1995, dunia dikejutkan dengan penemuan planet pertama yang mengorbit bintang lain. Pegasi 51 menjadi titik awal perjalanan penemuan planet-planet yang mengitari bintang lain. Satu per satu planet ditemukan. Satu demi satu kejutan pun tersaji bagi manusia, untuk melihat kalau Tata Surya bukanlah satu-satunya sistem keplanetan dan Tata Surya tidaklah unik.
Pencarian Bumi yang lain juga dimulai. Manusia dikejutkan oleh penemuan Gliese 581c yang menjadi bagian dari planet laik huni atau planet yang diduga memiliki air dalam bentuk cair. Semenjak itu, satu persatu planet seukuran Bumi pun ditemukan walau memang si kembar Bumi belum benar-benar ditemukan.
Tahun 2009, misi Kepler diluncurkan dan sejak saat itu penemuan planet-planet baru semakin banyak.  Tanggal 3 Februari dini hari, NASA memberi kejutan dengan mengumumkan hasil terbaru penelitian Kepler. Ada ribuan kandidat exoplanet. Tapi bukan itu yang utama.
Kepler berhasil menemukan sistem keplanetan dengan 6 planet yang terdiri dari planet gas dan juga batuan mengitari sebuah bintang serupa Matahari dan dikenal sebagai Kepler-11. Sistem ini berlokasi 2000 tahun cahaya dari Bumi. Fiuhh jauh…
Sistem Kepler-11
Apa uniknya sistem ini?

Ilustrasi transit planet-planet dalam sistem Kepler-11. Kredit : NASA/Tim Pyle
Sistem keplanetan Kepler-11 merupakan sistem dengan 6 buah planet pertama yang ditemukan melalui sistem transit.  Keunikan lainnya, sistem ini sangat kompak, seluruh planet mengorbit sang bintang dalam kesejajaran yang sempurna dan dari sudut padang pengamat, planet-planet tersebut secara berkala melintasi piringan bintang atau yang kita kenal dengan nama transit.  Kepler-11 merupakan sistem pertama yang memiliki lebih dari 3 planet transit.
Tidak hanya itu,  sistem ini memiliki 5 planet yang mengorbit sedemikian dekat dengan bintang induknya dan belum ada sistem seperti ini sebelumnya.
Planet terdalam, Kepler-11b, berada 10 kali lebih dekat ke bintang induk jika dibanding dengan jarak Bumi ke Matahari. Bergerak keluar, planet berikutnya, Kepler-11c, Kepler-11d, Kepler-11e, Kepler-11f dan yang terluar Kepler-11g memiliki jarak 2 kali lebih dekat ke bintang induknya dibanding jarak Bumi ke Matahari.
Yang paling menarik,  kelima planet dalam di sistem ini jika ditempatkan di Tata Surya maka mereka akan berada dalam obit antara Merkurius dan Matahari! Dan untuk planet terluar yakni Kepler-11g, ia berada dalam orbit antara Merkurius dan Venus.  Orbit kelima planet dalam di sistem keplanetan Kepler-11 juga sangat berdekatan jika dibanding dengan planet-planet yang ada di Tata Surya.  Kelima planet dalam memiliki periode orbit antara 10 – 46,7 hari untuk mengitari bintang induknya sedangkan planet terluar Kepler-11g membutuhkan waktu 118 hari untuk mengitari sang bintang.
Masih ada lagi loh yang membuat sistem ini jadi sedemikian menarik dan memukau. Planet-planetnya tidak seperti yang kita kenal selama ini di Tata Surya.  Kelima planet dalam di sistem ini memiliki massa yang merentang dari 2,3 – 13,5 massa Bumi dengan ukuran lebih besar dari Bumi. Planet terbesar memiliki ukuran setara Uranus dan Neptunus dengan variasi ukuran 2 – 4,5 kali diameter Bumi.
Perbandingan sistem Kepler-11 dan sistem Tata Surya. kredit : NASA/Tim Pyle
Berada sedemikian dekat dengan bintang induknya, jelas mereka akan diterpa panas dan angin bintang diperkirakan kalau planet-planet ini merupakan versi dengan skala lebih kecil dari planet kebumian, seperti halnya planet “cannonball” Kepler-10b. Tapi ternyata, kelima planet ini memberi kejutan lain. Kerapatannya sangat rendah hanya berkisar antara 3,1 gr/cm3 yang paling “rapat” sampai dengan 0,5g/cm3 (kerapatan lebih rendah dari Saturnus yang hampir seluruhnya merupakan planet gas)
Komposisi dan Pembentukan Planet
Dari ukuran dan massa kelima planet dalam, Jack Lissauer dari NASA’s Ames Research Center, Moffett Field, Calif, yang memimpin penelitian ini  berhasil menemukan exoplanet terkecil yang ada di sistem extrasolar planet.  Planet-planet ini terdiri dari campuran batuan dan gas dan kemungkinan juga oleh air.  Materi batuan pada planet inilah yang memberikan massa pada planet-planet sementara gas yang juga menyusun si planet mengambil alih sebagian besar volum si planet.

Meurut Lissaauer, Kepler-11 merupakan sistem keplanetan yang luar biasa karena aristektur dan dinamika sistemnya bisa memberi petunjuk mengenai pembentukan sistem keplanetan tersebut.
Sistem keplanetan lahir saat inti awan molekul runtuh untuk membentuk bintang. Pada saat tersebut, planet terbentuk dalam piringan gas dan debu di sekeliling bintang yang dikenal sebagai piringan protoplanet. Piringan protoplanet dapat dilihat disekeliling sebagian besar bintang yang baru berusia kurang dari satu juta tahun, tapi ada juga beberapa bintang berusia lebih dari 5 juta tahun yang masih memiliki piringan tersebut.  Dari hasil pengamatan Kepler, diyakini untuk sistem Kepler-11, planet yang memiliki gas dengan jumlah tertentu terbentuk relatif lebih cepat untuk bisa memiliki gas tersebut sebelum piringan gas dan debu tersebut habis.
Sebagian besar volum di planet Kepler-11c – f memiliki materi dengan kerapatan rendah yang diperkirakan berasal dari materi keplanetan yang memiliki kerapatan dari yang tinggi ke rendah seperti batuan/logam, es yang didominasi oleh H2O, CH4, dan NH3, dan gas H/He. Kesemua komponen ini bisa diakumulasi secara langsung dari piringan protoplanet saat pembentukan planet. Hidrogen dan selubung uap, bisa merupakan produk reaksi kimia dan gas-yang terbuang keluar dari planet batuan, tapi hanya sekitar 6% dari 20% massa sesuai urutannya.
Dalam sistem ini, planet Kepler-11d, Kepler-11e dan Kepler-11f pasti memiliki jumlah gas hidrogen yang cukup besar yang mengindikasikan kalau ke-3 planet ini terbentuk lebih awal dalam sejarah sistem keplanetan Kepler-11. Diyakini mereka terbentuk hanya dalam beberapa juta tahun di awal pembentukan sistem. Planet Kepler-11b dan c diyakini kaya dengan es (dalam bentuk fluida seperti di Uranus dan Neptunus) dan/atau campuran H/He.
Jika dilihat dari massanya, kelima planet di sistem ini tersusun oleh elemen yang lebih berat dari Helium. Karakterisasi atmosfer di masa depan akan dapat menguraikan apakah atmosfer didominasi hidrogen atau uap air dan memberi informasi lebih banyak mengenai komposisi terbesar di planet-planet tersebut beserta stabilitas atmosfernya.
Hasil awal yang didapat menunjukkan kalau planet Kepler-11b dan c memiliki atmosfer yang didominasi hidrogen di masa lalu dan kemudian mengalami kehilangan atmosfer di era awal ketika planet memiliki radius yang lebih besar, kerapatan lebih rendah, dan bintang induk masih lebih aktif. Pada masa awal itulah terjadi kehilangan massa dengan laju yang cukup tinggi. Studi lanjut dari sistem keplanetan Kepler-11 ini tentunya akan memberi informasi dan pemahaman yang lebih baik lagi mengenai proses kehilangan massa.
Kelima planet di sistem Kepler-11 yang cukup dinamis dan berada di orbit yang sedemikian dekat dengan bintang induk tidak akan stabil selama milyaran tahun ketika bintang induknya sudah berada di Deret Utama.
Pengamatan Lanjutan
Kepler akan melanjutkan pengamatannya dan akan terus memberikan data terbaru dari sistem Kepler-11.  Semakin banyak transit yang bisa dilihat kepler, maka akan semakin baik bagi para peneliti untuk bisa memberi estimasi ukuran dan massa planet-planet tersebut.

Data yang ada akan membantu dalam kalkulasi dan penentuan ukuran dan massa planet serta memberi kesempatan untuk mendeteksi lebih banyak planet yang akan mengorbit bintang Kepler-11.  Bisa jadi akan ditemukan planet ke-7 di sistem tersebut melalui transit atau bahkan dari gangguan gravitasi yang ia timbulkan pada ke-6 planet yang sudah teramati saat ini.
Yang pasti, manusia akan mengetahui dan belajar lebih banyak lagi mengenai perbedaan yang ada pada planet-planet di berbagai bintang dalam galaksi Bima Sakti.
»»  Baca Selengkapnya

DUA SISI WAJAH MATAHARI YANG DILIHAT STEREO

Beberapa waktu lalu NASA memberi kejutan dengan penemuan galaksi tertua di alam semesta dan juga sistem extrasolar planet Kepler-11 yang memiliki 6 planet, dengan 5 planet yang berada sangat dekat dengan bintang induknya. Kali ini sebuah berita menggembirakan datang dari STEREO (Solar TErrestrial RElations Observatory), pengamat matahari kembar milik NASA.
Tanggal 6 Febuari,  STEREO bergerak menempati posisi untuk mengamati sisi berlawanan dari Matahari, dan kemudian mengirimkan citra pengamatannya secara terus menerus ke Bumi. Wajah Matahari dari depan dan belakang berhasil dipotret dan disajikan hasilnya pada manusia dalam waktu bersamaan.
Dua sisi wajah Matahari yang dilihat STEREO. Kredit : STEREO/NASA
Inilah kali pertama masyarakat dunia bisa melihat aktivitas Matahari dalam 3 dimensi. Momentum luar biasa dalam fisika Matahari ini dicapai ketika STEREO berhasil mengungkapkan bentuk Matahari yang berbentuk bola plasma bulat dengan gelombang medan magnetik yang sangat rumit.
Inilah untuk pertama kalinya NASA berhasil menyajikan video Matahari dalam 3 dimensi :
Cerita dari STEREO
Setiap mata teleskop matahari STEREO memotret setengah Matahari sang bintang dan kemudian mengarahkan foto-foto yang ia ambil ke Bumi. Di Bumi, para peneliti bertugas menggabungkan gambar-gambar yang dihasilkan STEREO untuk menjadi satu potongan film utuh dari Matahari yang berbentuk bola. Yang pasti ini bukan sekedar gambar biasa, karena teleskop STEREO dipasang untuk menangkap 4 panjang gelombang radiasi ultra ungu yang ekstrim yang digunakan untuk menelusuri aspek-aspek penting seperti flare, tsunami dan filamen magnetik di Matahari. Tidak ada yang luput dari pandangan matanya.

Dengan data yang dihasilkan STEREO, manusia bisa terbang mengelilingi Matahari dan melihat apa yang sedang terjadi di sana tanpa harus meninggalkan meja kerjanya. Menarik bukan? Tapi di sisi berlawanan, hasil ini jelas akan membawa manusia untuk lebih memahami Matahari dan memberi perkembangan besar pada teori Fisika Matahari dan prakiraan cuaca antariksa.
Coba kita telusuri sejenak. Di masa lalu, bintik Matahari yang aktif dapat muncul pada sisi lain wajah Matahari yang tersembunyi dari Bumi. Dan kemudian, ketika sang bintang berputar dan wajah yang tadinya tersembunyi itu tampak, ia akan melontarkan flare-nya disertai awan plasma hanya dengan sedikit peringatan.
Kini itu tidak perlu terjadi. Sisi berlawanan dari wajah Matahari tidak akan lagi bisa memberi kejutan pada manusia karena STEREO dengan mata kembarnya bisa melihat kedua sisi pada saat bersamaan.
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) menggunakan model CMe (coronal mass ejection atau lontaran massa korona) dari 3D STEREO untuk prediksi cuaca antariksa untuk penerbangan, perusahaan listrik, operator satelit dan lain-lain. Tentunya dengan adanya perkembangan baru ini, akan memberi informasi yang lebih baik lagi dalam melakukan prediksi cuaca antariksa.
Prakiraan cuaca ini tidak terbatas hanya untuk Bumi. Dengan pemodelan global yang baik maka para peneliti akan dapat melacak badai Matahari yang bergerak menuju planet lainnya, dan ini akan dibutuhkan dalam misi NASA ke Merkurius, Mars, Asteroid… dan lain-lain.
Hasil pandangan baru ini bisa menampilkan koneksi yang sebelumnya terabaikan. Contohnya, peneliti telah lama menduga bahwa aktivitas matahrai dapat ‘mengglobal’ dengan adanya erupsi pada sisi belakang matahari yang memicu dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Kini dengan apa yang bisa dilakukan STEREo, para peneliti bisa mempelajari fenomena tersebut. Erupsi besar yang terjadi bulan Agustus 2010 lalu melanda 2/3 permukaan sang bintang dengan flare yang saling berinteraksi, adanya gelombang kejut dan filamen yang saling bergetaran sama sekali. Semuanya ini tak pernah bisa diamati sebelumnya sampai kemudian baru bisa terlihat oleh STEREO-SOHO.
Yang pasti masih banyak teka-teki dan potongan yang belum terjawab mengenai aktivitas Matahari dan dengan memonitor seluruh Matahari, para peneliti bisa menemukan potongan-potongan yang hilang itu.
NASA sudah menunggu momen ini semenjak STEREO diluncurkan bulan Oktober 2006 dan kemudian berpisah dengan kembarannya menuju pad aposisi oposisinya. Posisi oposisi itu akhirnya tercapai tanggal 6 Februari 2011 saat STEREO-A dan STEREO-B berada terpisah 180º dan masing-masing mengarahkan pandangan pada sisi wajah Matahari yang berbeda untuk 8 tahun ke-depan.
Sumber : NASA
»»  Baca Selengkapnya

FLARE MATAHARI KELAS X2 MENGARAH KE BUMI

Pada tanggal 13 Februari 2011 pada pukul 23.38 wib, bintik Matahari 1158 melepaskan flare Matahari yang cukup besar dengan skala M6,6 dan erupsi tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 15 Februari 2011 jam 08.56 wib saat ia kembali melepaskan flare Matahari dengan skala X2.
Flare Matahari yang dilepaskan Bintik Matahari 1158. Kredit : SDO/NASA
Skala atau Kelas X2 merupakan tipe flare Matahari yang paling kuat dan menjadi erupsi pertama dari Siklus Matahari ke-24 yang akan berlangsung di waktu yang akan datang.
Kedua erupsi yang terjadi pada tanggal 13 dan 15 Februari ini direkam oleh Solar Dynamic Observatory milik NASA dan SDO juga berhasil melihat radiasi ultra ungu yang ekstrim yang muncul dari flare tersebut.  Selain mengirimkan radiasi UV (ultraungu) ke Bumi, ledakan ini juga melontarkan CME (lontaran massa korona) ke arah Bumi. Pada film yang diambil STEREO-B, tampak perluasan awan yang terbentuk dan diharapkan badai geomagnetik akan terjadi saat CME tiba di Bumi pada tanggal 17 Februari 2011.
Saat CME mencapai Bumi, ia akan berinteraksi dengan medan magnet di Bumi dan berpotensi untuk menimbulkan badai geomagnetik. Pada kejadian tersebut, aliran partikel Matahari akan mengalir turun sesuai dengan garis-garis medan magnetik Bumi ke kutub-kutub Bumi dan bertabrakan dengan atom nitrogen dan oksigen di atmosfer.
This content requires the QuickTime Plugin. Download QuickTime Player.
Already have QuickTime Player? Click here.
Saat itulah para pengamat di lintang tinggi akan dapat menikmati  aurora atau tirai cahaya warna warni. Tidak akan ada efek signifikan bagi Bumi. Dampak yang mungkin terjadi, antara lain: gangguan pada jaringan listrik karena transformator dalam jaringan listrik akan mengalami kelebihan muatan, gangguan telekomunikasi (merusak satelit, menyebabkan black-out frekuensi HF radio, dll), navigasi, dan menyebabkan korosi pada jaringan pipa bawah tanah.
Pengamatan terjadinya flare atau semburan Matahari pada tanggal 15 Februari 2011 juga dilakukan olehAlfan Nasrulloh dengan menggunakan teleskop radio JOVE dari observatorium Bosscha.  Selain mendapatkan data terjadinya semburan, para pengamat juga berhasil merekam suara dari semburan radio tersebut. Hasil ini merupakan milestone atau tonggak sejarah yang besar dalam pengembangan teleskop Radio JOVE di Observatorium Bosscha. Menurut Alfan, dari hasil tersebut  Observatorium Bosscha bisa terlibat aktif di radio (frekuensi rendah) untuk “menyambut” siklus aktifitas matahari ke-24 dengan puncak aktifitas matahari sekitar 2012-2014 dalam bentuk solar patrol.
Diagram Pengamatan Radio JOVE 20,1 MHz 15 Februari 2011 jam 11:35:08 - 11:37:08 WIB Pada sekitar 04:36 UT atau jam 11:36 WIB tercatat ada semburan yang sangat besar. Perhatikan perbandingannya dengan level normal sebelum dan sesudahnya. Peningkatannya sekitar 7 kali lipat Kondisi langit berawan rata dan cukup tebal saat pengamatan. Garis merah vertikal adalah interferensi lokal. Kredit : Alfan N

Flare Matahari skala M6,6 tanggal 13 Februari 2011

Flare Matahari tanggal 13 Februari 2011. Kredit : SDO/NASA
Sebelum bintik Matahari 1158 melepas flare dengan skala X2, pada tanggal 13 Februari 2011, ia juga melepaskan ledakan dengan skala M6,6 yang berhasil direkam oleh SDO milik NASA.
Erupsi tersebut menyebabkan terjadinya ledakan keras pada gelombang radio yang bisa didengar oleh penerima gelombang pendek di siang hari. Thomas Ashcraft di New Meksiko berhasil merekam suara tersebut pada gelombang 19 – 21 MHz.  Menurut Thomas, itu merupakan letupan gelombang radio terkuat dalam siklus Matahari yang baru ini.
Sumber terjadinya flare Matahari tersebut yakni bintik Matahari 1158 berkembang sangat cepat dan area aktifnya sudah memiliki lebar lebih dari 100000 km, dengan setidaknya ada selusin inti hitam seukuran Bumi tersebar dibawah kanopi magnetik yang tidak stabil.
Awan lontaran massa korona dari flare Matahari tanggal 13 Februari ini juga bergerak ke Bumi dan menghasilkan aurora yang spektakuler bagi pengamat di lintang tinggi
Aurora yang tampak di Henningsvaer, Lofoten, Norwegia yang dipotret Gabi dan Gunter Reichert. Kredit : Gabi & Gunter Reichert
Aurora yang tampak dari area Murmansk, Russia yang dipotret Valentin Jiganov. Kredit : Valentin Jiganov
»»  Baca Selengkapnya

JUMLAH MATERI GELAP UNTUK PEMBENTUKAN BINTANG DALAM GALAKSI

Herschel Space Observatory milik ESA yang bekerjasama dengan NASA, berhasil mengungkap berapa banyak materi gelap yang dibutuhkan untuk membentuk galaksi baru yang penuh bintang.
Animasi yang menunjukkan distribusi materi gelap pada pergeseran merah 2 saat alam semesta baru berusia 3 milyar tahun. kredit : The Virgo Consortium/Alexandre Amblard/ESA
Dalam pengamatannya, Herschel menemukan populasi galaksi yang diliputi debu yang tidak membutuhkan jumlah materi gelap yang banyak seperti yang diduga sebelumnya untuk mengumpulkan gas dan menyebabkan terjadinya ledakan pembentukan bintang,
Penemuan tersebut menjadi salah satu langkah penting untuk bisa memahami bagaimana materi gelap yang merupakan substansi yang tidak tampak, berkontribusi dalam proses kelahiran galaksi masif di awal alam semesta.

Kontribusi Materi Gelap Bagi Pembentukan Galaksi
Menurut Asantha Cooray dari University of California, Irvine, yang juga peneliti utama penelitian ini, “jika diawali dengan sedikit materi gelap, maka galaksi yang berkembang akan berakhir dengan perlahan. Tapi jika materi gelapnya terlalu banyak, gas tidak akan bisa menjadi cukup dingin untuk membentuk sebuah galaksi besar. Pada akhirnya hanya akan terbentuk galaksi kecil dalam jumlah besar. Tapi jika jumlah materi gelapnya tepat, maka galaksi yang terbentuk akan memiliki ledakan jumlah bintang di dalamnya.”

Berapakah jumlah yang tepat itu? Dari hasil yang dilihat Herschel, Asantha Cooray menemukan kalau jumlah yang tepat itu 300 milyar massa Matahari.
Ukuran tersebut jelas menantang teori yang ada saat ini yang memprediksikan bahwa sebuah galaksi haruslah lebih besar 10 kali, dengan massa 5000 miliar massa Matahari untuk bisa membentuk sebuah galaksi dengan jumlah bintang yang banyak.
Sebagian besar massa di galaksi tersebut diperkirakan merupakan materi gelap, substansi yang tak dapat dilihat oleh panca indera maupun oleh instrumen apapun, dan hanya bisa dideteksi melalui pengaruh gravitasi yang ditimbulkan bahan tersebut. Gravitasi materi gelap inilah yang diperkirakan dapat mengikat si galaksi saat berotasi sehingga bintang-bintang di dalamnya tidak tercerai berai.
Area "lubang Lockman" yang berada di rasi Ursa Mayor. Arrea yag di survei Herschel. Titik-titik kecil di citra tersebut merupakan galaksi jauh. Kredit : konsorsium ESA & SPIRE & konsorsium HerMES
Model pembentukan galaksi yang ada saat ini dimulai dengan akumulasi sejumlah besar materi gelap. Gumpalan raksasa materi gelap ini berfungsi bak sumur yang mengumpulkan gas dan debu yang dibutuhkan untuk membentuk galaksi. Saat campuran gas dan debu jatuh ke dalam sumur, mereka akan berkondensasi dan memulai proses pendinginan, dan dimulailah ledakan pembentukan bintang. Yang dilihat Herschel, laju pembentukan bintang pada galaksi-galaksi muda yang ia amati pada jarak 10 – 11 milar tahun tersebut mencapai 100 – 1000 kali lebih cepat dari laju pembentukan bintang di Bima Sakti saat ini. Saat bintang yang terbentuk sudah cukup, maka sebuah galaksi baru pun lahir.
Mata Infra Merah Herschel 
Hasil Herschel tersebut menunjukan pentingnya astronomi infra merah yang membawa para ilmuwan untuk melihat apa yang ada di balik cadar debu antar bintang dan melihat bintang-bintang kala bayi.

Bagaimana Herschel bisa melihat semua itu? Ini tak lepas dari kemampuan instrumen SPIRE (Spectral and Photometric Imaging Receiver) milik Herschel yang bekerja pada panjang gelombang 250, 350 dan 500 mikron. Panjang gelombang tersebut 1000 kali lebih panjang dari area panjang gelombang yang bisa dilihat oleh mata manusia. Kemampuan ini jugalah yang menyebabkan mata Herschel mampu mengungkap keberadaan galaksi yang diliputi oleh debu.
Menurut Göran Pilbratt, peneliti dalam proyek Herschel, “kemampuan Herschel yang memiliki sensitivitas tinggi pada cahaya infra merah jauh yang dipancarkan oleh galaksi muda yang penuh dengan ledakan bintang telah membawa para astronom untuk melihat ke kedalaman alam semesta dan memberi pemahaman yang lebih baik lagi mengenai pembentukan dan evolusi galaksi.”
Distribusi materi gelap. kredit : The Virgo Consortium/Alexandre Amblard/ESA
Citra Yang Diambil Herschel
Dalam melakukan pengamatannya, Herschel tidak hanya melihat namun ia juga memotret semua yang dilihatnya. Dari citra yang dihasilkan Herschel terdapat banyak galaksi yang tumpang tindih dan menciptakan kabut radiasi inframerah yang dikenal sebagai latar belakang kosmik infra merah. Galaksi-galaksi tersebut tidak terdistribusi secara acak melainkan mengikuti pola yang mendasari materi gelap di alam semesta. Akibatnya, kabut tersebut memiliki pola khas yang berupa potongan terang dan gelap.

Analisa kecerlangan dari potongan yang ada dalam citra SPIRE menunjukkan laju pembentukan bintang di galaksi jauh infra merah lebih tinggi 3 – 5 kali dibanding pengamatan serupa pada galaksi yang masih sangat muda pada panjang gelombang tampak oleh teleskop Hubble dan teleskop lainnya.
Analisis lebih lanjut dan simulasi yang dibuat menunjukkan kalau massa yang lebih kecil untuk galaksi-galaksi tersebut merupakan jumlah yang pas untuk pembentukan bintang. Galaksi yang kurang masif akan sulit terbentuk lebih dari generasi pertama bintang sebelum ia mengalami kegagalan pembentukan. Sedangkan galaksi yang lebih masif harus berjuang keras karena proses pendinginan gas jadi lebih lambat dan menghalangi si galaksi untuk mengalami keruntuhan untuk memiliki kerapatan yang lebih tinggi yang dibutuhkan untuk memicu terjadinya pembentukan bintang.
Tapi jumlah yang dilihat Herschel yakni beberapa ratus milyar massa matahari sudah cukup untuk membuat galaksi memiliki laju pembentukan bintang yang besar dan akan dapat bertumbuh dengan cepat.
Sumber : ESA, NASA
»»  Baca Selengkapnya

BENARKAH ADA PLANET RAKSASA YANG BERSEMBUNYI DI AWAN OORT ?

Ada planet baru di Tata Surya dan ia berada jauh di bagian terluar Tata Surya di awan Oort. Itulah berita yang dicetuskan oleh duo ilmuwan yang berkecimpung dalam dunia keplanetan dari University of Lousiana-Lafayette.
Kandidat Planet ke-9?
Dewi Tyche.
Adalah John Matese dan Daniel Whitmire yang dalam penelitiannya melihat ada gangguan pada orbit komet-komet di awan Oort. Nah, dari apa yang mereka lihat inilah, disimpulkan bahwa ada sebuah obyek besar yang berupa sebuah planet di awan Oort yang gravitasinya mengganggu orbit komet yang berasal dari awan Oort. Analisa ini sudah dikemukakan sejak tahun 1999.
Analisa ini muncul setelah mereka melihat komet yang berasal dari awan Oort memiliki orbit yang janggal dan tidak sesuai dengan teori bagaimana seharusnya komet bergerak. Pada awalnya mereka mengemukakan ide bahwa gangguan itu disebabkan oleh bintang katai coklat atau katai merah redup yang merupakan bintang pasangan Matahari yang disebut Nemesis. Ide tentang Nemesis ini sendiri sudah dibantah secara luas.
Di tahun 2011, John dan Daniel kembali mengemukakan analisa mereka dengan sebuah analisa baru kalau si obyek besar di awan Oort itu adalah sebuah kandidat planet yang 4 kali lebih besar dari planet Jupiter dan berada 15000 kali jarak Bumi-Matahari dan 375 kali lebih jauh dari Pluto. Idenya, planet raksasa inilah yang menjadi jawaban mengapa komet periode panjang tampak mengelompok pada pita yang yang cenderung ellips dan bukannya datang dari arah yang acak. Tapi jaraknya yang sangat jauh itulah yang menyebabkan planet yang dinamakan Tyche ini belum terlihat.
Menurut Matese, “Apa yang baru adalah, polanya yang tetap sama dan ada kemungkinan bahwa ini suatu kebetulan statistik, namun kemungkinan itu semakin berkurang dengan adanya data yang dikumpulkan dalam 10 tahun terakhir.”
Menurut John Matese dan Daniel Whitmire, si planet Tyche tersebut sudah bisa dibuktikan keberadaannya, karena teleskop landas angkasa WISE milik NASA diperkirakan sudah melihatnya dan sudah siap untuk dianalisa. Dikatakan juga data pertama dari planet tersebut akan dirilis bulan April, dan setelah si kandidat planet Tyche bisa diketahui lokasinya maka semua teleskop akan mengarah kesana.
Di sisi lain, spektrum yang dilihat Matese juga masih tidak dapat dipastikan dan diperkirakan memiliki banyak sinyal yang serupa dengan yang diharapkan sebagai obyek yang mereka duga. Jadi untuk mengetahui kepastiannya, dibutuhkan waktu dan bisa jadi membutuhkan waktu selama 2 tahun sebelum sinyal dari Tyche – jika memang ada – bisa diketahui keberadaannya.
Nama Tyche sendiri merupakan nama dewi Yunani, Tyche yang bertanggungjawab atas nasib sebuah kota. Tyche dalam mitologi Yunani merupakan saudari Nemesis, yang selama ini dikaitkan sebagai bintang pasangan fiktif Matahari dan digadang-gadang akan muncul dan menyebabkan kiamat di tahun 2012.
Pertanyannya, benarkah ada penemuan kandidat planet baru oleh WISE saat ini?
Benarkah ada planet yang bersembunyi?
Setelah berita tersebut beredar selama beberapa hari, teleskop WISE pun secara resmi memberikan pernyataannya.

Dalam pernyataannya, WISE menyebutkan, “Ada banyak desas desus di berita tentang WISE menemukan planet baru. Tidak benar. Sepasang ilmuwan mempublikasikan makalah mereka dan menyatakan jika ada planet besar di area luar Tata Surya, maka WISE pasti sudah melihatnya. Ini benar. Tapi dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa menganalisa dan menentukan jika WISE memang mendeteksi obyek tersebut atau tidak”
Berbagai tanggapan pun muncul dari para ilmuwan yang berkiprah dalam bidang keplanetan. Dan tidak semua orang cukup optmis dan yakin dengan dugaan keberadaan planet raksasa lebih besar dari Jupiter di awan oort tersebut.
Area Tata Surya. kredit : NASA
Matthew Holman, ilmuwan keplanetan dari Harvard Smithsonian Institute of Astrophysics mengatakan,“berdasar pada paper lama yang telah saya lihat, pada komet periode panjang yang datang dari langit, dan menemukan penanda adanya gangguan besar pada awan Oort, saya tidak terpengaruh oleh bukti tersebut”
Hal Levison, salah seorang pakar dalam sistem keplanetan dari Southwest Reasearch Institute di Boulder, Colo, yang juga menulis paper mengenai awan Oort di Majalah Science menyokong pendapat tersebut.
Levison yang melakukan riset mengenai dinamika obyek astronomi dengan fokus pada perilaku jangka panjang dari obyek-obyek di Tata Surya mengatakan, “Saya belum membaca versi terbaru dari paper tersebut yang disebut memiliki statistik lebih baik dari yang sebelumnya, dimana mereka juga menyatakan sudah melihat bukti keberadaan obyek tersebut. Tapi dari paper sebelumnya, saya pikir mereka melakukan perhitungan statistik yang salah. Klaim yang luar biasa membutuhkan bukti yang luar biasa dan saya meyakini dia tidak memahami bagaimana melakukan perhitungan statistik dengan benar.”
Matese mengklaim kalau ia melihat ekses kedatangan komet dari lokasi tertentu, yang ia katakan sebagai efek gravitasi planet besar di awan Oort. Ide ini tidak sepenuhnya salah namun menurut Levison, sinyal yang diklaim Matese sebagai planet itu hampir tidak kentara atau sinyalnya sangat lemah, dan secara statistik tidaklah signifikan.
Pendapat yang serupa juga datang dari Mike Brown, ahli keplanetan yang menemukan Eris, Haumea, Sedna dan Makemake. Kepada Universe Today, Mike mengemukakan kemungkinan keberadaan sebuah planet yang berada pada jarak 500 kali lebih jauh dari Neptunus itu memungkinkan dan merupakan ide yang membangkitkan keingintahuan yang bahkan sudah dispekulasikan selama bertahun-tahun.

Tapi benarkah ada bukti keberadaannya?
Menurut Mike, data yang dimiliki Matese dan Whitmere tidak cukup kuat dan itu bukan kesalahan mereka karena data tersebut hanya berupa rekam jejak asal kedatangan komet. Tidak setiap orang mampu memahami seluk beluk set data dengan sangat baik untuk bisa mengambil kesimpulan yang kuat. Tapi lagi menurut Mike, Matese dan Whitmere sudah melakukan yang terbaik yang mereka bisa lakukan untuk melihat bahwa data tersebut menunjuk pada sesuatu yang ada di luar sana.

Akan tetapi data yang ada tidak cukup untuk bisa meyakinkan Mike Brown untuk meyakini bahwa memang ada planet sebesar itu di awan Oort. Selain itu tidak ada bukti pendukung lain yang bisa menyatakan bahwa si planet itu memang ada.
Tapi para ilmuwan ini meyakini WISE memiliki kesemptan yang bagus untuk bisa mendeteksi obyek seperti itu di area terluar Tata Surya – jika ada. Dan tentunya ini akan menjadi data yang ditunggu jika memang kandidat planet seperti itu ada. WISE akan melihatnya bukan karena ada prediksi tentang planet ini melainkan karena memang area tersebut merupakan area tidak dikenal di Tata Surya yang harus dilihat.
Jadi tidak ada planet ke-9 atau planet baru bernama Tyche, karena kandidatnya pun belum diketahui keberadaannya. Yang ada hanya sebuah prediksi dengan data yang analisanya juga masih diragukan oleh para ilmuwan lainnya.
Berita penemuan planet ke-9 bernama Tyche dan berita IAU akan mengumumkan statusnya adalah HOAX.
»»  Baca Selengkapnya
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...