Suatu ketika Rasulullah SAW berada di dalam Masjid Nabawi, Madinah.
Selepas menunaikan shalat, beliau menghadap para sahabat untuk ber
silaturahmi dan memberikan tausiyah. Tiba-tiba, masuklah seorang pria
ke dalam masjid, lalu melaksanakan shalat dengan cepat.
Setelah selesai, ia segera menghadap Rasulullah SAW dan mengucapkan
salam. Rasul berkata pada pria itu, “Sahabatku, engkau tadi belum shalat!”
Betapa kagetnya orang itu mendengar perkataan Rasulullah SAW. Ia pun
kembali ke tempat shalat dan mengulangi shalatnya. Seperti sebelumnya
ia melaksanakan shalat dengan sangat cepat. Rasulullah SAW tersenyum
melihat “gaya” shalat seperti itu.
Setelah melaksanakan shalat untuk kedua kalinya, ia kembali mendatangi
Rasulullah SAW. Begitu dekat, beliau berkata pada pria itu, “Sahabatku,
tolong ulangi lagi shalatmu! Engkau tadi belum shalat.”
Lagi-lagi orang itu merasa kaget. Ia merasa telah melaksanakan shalat
sesuai aturan. Meski demikian, dengan senang hati ia menuruti perintah
Rasulullah SAW. Tentunya dengan gaya shalat yang sama.
Namun seperti “biasanya”, Rasulullah SAW menyuruh orang itu mengulangi
shalatnya kembali. Karena bingung, ia pun berkata, “Wahai Rasulullah,
demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa melak
sanakan shalat dengan lebih baik lagi. Karena itu, ajarilah aku!”
“Sahabatku,” kata Rasulullah SAW dengan tersenyum, “Jika engkau berdiri
untuk melaksanakan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah Al-Fatihah
dan surat dalam Alquran yang engkau pandang paling mudah. Lalu, rukuklah
dengan tenang (thuma’ninah), lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak.
Selepas itu, sujudlah dengan tenang, kemudian bangunlah hingga engkau duduk
dengan tenang. Lakukanlah seperti itu pada setiap shalatmu.”
Kisah dari Mahmud bin Rabi’ Al Anshari dan diriwayatkan Imam Bukhari dalam
Shahih-nya ini memberikan gambaran bahwa shalat tidak cukup sekadar “benar”
gerakannya saja, tapi juga harus dilakukan dengan tumaninah, tenang, dan khusyuk.
Kekhusukan ruhani akan sulit tercapai, bila fisiknya tidak khusyuk. Dalam
arti dilakukan dengan cepat dan terburu-buru. Sebab, dengan terlalu cepat,
seseorang akan sulit menghayati setiap bacaan, tata gerak tubuh menjadi
tidak sempurna, dan jalinan komunikasi dengan Allah menjadi kurang optimal.
Bila hal ini dilakukan terus menerus, maka fungsi shalat sebagai pencegah
perbuatan keji dan munkar akan kehilangan makna. Karena itu, sangat beralasan
bila Rasulullah SAW mengganggap “tidak shalat” orang yang melakukan shalat
dengan cepat (tidak tumaninah).
Hikmah gerakan shalat
Sebelum menyentuh makna bacaan shalat yang luar biasa, termasuk juga aspek
“olah rohani” yang dapat melahirkan ketenangan jiwa, atau “jalinan komunikasi”
antara hamba dengan Tuhannya, secara fisik shalat pun mengandung banyak keajaiban.
Setiap gerakan shalat yang dicontohkan Rasulullah SAW sarat akan hikmah dan
bermanfaat bagi kesehatan. Syaratnya, semua gerak tersebut dilakukan dengan
benar, tumaninah serta istikamah (konsisten dilakukan).
Dalam buku Mukjizat Gerakan Shalat, Madyo Wratsongko MBA. mengungkapkan bahwa
gerakan shalat dapat melenturkan urat syaraf dan mengaktifkan sistem keringat
dan sistem pemanas tubuh. Selain itu juga membuka pintu oksigen ke otak, mengeluarkan muatan listrik negatif dari tubuh, membiasakan pembuluh darah halus di otak mendapatkan tekanan tinggi, serta membuka pembuluh darah di bagian dalam tubuh (arteri jantung).
Kita dapat menganalisis kebenaran sabda Rasulullah SAW dalam kisah di awal.
“Jika engkau berdiri untuk melaksanakan shalat, maka bertakbirlah.”
Saat takbir Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ke atas hingga sejajar
dengan bahu-bahunya (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar). Takbir ini dilakukan
ketika hendak rukuk, dan ketika bangkit dari rukuk.
Beliau pun mengangkat kedua tangannya ketika sujud. Apa maknanya? Pada saat
kita mengangkat tangan sejajar bahu, maka otomatis kita membuka dada, memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk dialirkan ke bagian otak pengatur keseimbangan tubuh, membuka mata dan telinga kita, sehingga keseimbangan tubuh terjaga.
“Rukuklah dengan tenang (tumaninah).” Ketika rukuk, Rasulullah SAW meletakkan
kedua telapak tangan di atas lutut (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash).
Apa maknanya? Rukuk yang dilakukan dengan tenang dan maksimal, dapat merawat
kelenturan tulang belakang yang berisi sumsum tulang belakang (sebagai syaraf
sentral manusia) beserta aliran darahnya. Rukuk pun dapat memelihara kelenturan tuas sistem keringat yang terdapat di pungggung, pinggang, paha dan betis belakang. Demikian pula tulang leher, tengkuk dan saluran syaraf memori dapat terjaga kelenturannya dengan rukuk. Kelenturan syaraf memori dapat dijaga dengan mengangkat kepala secara maksimal dengan mata mengharap ke tempat sujud.
“Lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak.” Apa maknanya? Saat berdiri dari
dengan mengangkat tangan, darah dari kepala akan turun ke bawah, sehingga bagian pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanan darahnya. Hal ini dapat menjaga syaraf keseimbangan tubuh dan berguna mencegah pingsan secara tiba-tiba.
“Selepas itu, sujudlah dengan tenang.” Apa maknanya? Bila dilakukan dengan benar dan lama, sujud dapat memaksimalkan aliran darah dan oksigen ke otak atau kepala, termasuk pula ke mata, telinga, leher, dan pundak, serta hati. Cara seperti ini efektif untuk membongkar sumbatan pembuluh darah di jantung, sehingga resiko terkena jantung koroner dapat diminimalisasi.
“Kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenang.” Apa maknanya? Cara duduk di antara dua sujud dapat menyeimbangkan sistem elektrik serta syaraf keseimbangan tubuh kita. Selain dapat menjaga kelenturan syaraf di bagian paha dalam, cekungan lutut, cekungan betis, sampai jari-jari kaki. Subhanallah!
Masih ada gerakan-gerakan shalat lainnya yang pasti memiliki segudang keutamaan, termasuk keutamaan wudhu. Semua ini memperlihatkan bahwa shalat adalah anugerah terindah dari Allah bagi hamba beriman.
Wallaahu a’lam.